Sabtu, 20 Juni 2020

Steve dan Gambang Kromong

Steve dan Gambang Kromong
Oleh Nur Izzi Muntaha

Hari ini penghuni kelasku bertambah lagi. Namanya Steve. Semua siswa di kelasku menyambut gembira. Kecuali Doni.

"Hello, mister kompeni? Mau apa koe orang ke sini?" ujar Doni meniru logat Belanda. Steve memang keturunan Indo. Ibunya Belanda, ayahnya Betawi. Steve duduk di belakangku, dan di belakang Steve, ada Doni, si raja usil.

"Eh, enak aja elu manggil aye kompeni. Mak gue emang Belanda, tapi Babe gue Betawi asli. Kenalin name aye, Steve!" ujar Steve bercanda, dengan logat Betawi yang lancar. Steve memang lahir di Jakarta, tepatnya di Kemayoran.

"Eh, gilee, kompeni bisa juga nyerocos pake bahasa Betawi yah? Manteb." ujar Doni yang kini menggunakan logat Betawi.

"Hehehe, bisa aja kamu, Don!" Steve yang mempunyai nama lengkap Steve Abidin Putra, tertawa geli.

Sejak kepindahannya ke sekolahku, Steve dengan cepat memiliki banyak teman. Dia sangat baik kepada siapa saja, bahkan kepada Doni yang sering mengusilinya.

"Eh, kompeni, makin lama, kamu kok makin tengil aja!" ujar Doni usil suatu hari.

"Tengil? Tengil itu apa, Don?" tanya Steve bingung.

Doni tidak menjawab. Malah tiba-tiba tangan Doni memegang leher Steve. Suasana kelas menjadi gaduh. Aku mencoba melerai. Namun, dalam hitungan detik, keadaan sudah berubah. Kini Steve berhasil menangkap tangan Doni, dan memelintirnya ke belakang tubuh. Doni terdorong ke dinding dan tampak pucat menyerah.

"Elu mau ngajak gue bercanda? Gue bisa silat tau! Elu jangan iseng terus sama gue. Oke?" Steve lalu membebaskan tangan Doni, memberi ampun. Doni terdiam ketakutan. Padahal selama ini dia selalu jadi 'jawara' di sekolah.

Saat pelajaran kesenian dimulai, anak-anak masih membicarakan kehebatan Steve tadi. Pak Sholeh, guru kesenian, memberi pengumuman sebelum pelajaran kesenian diakhiri.

"Anak-anak, mulai pekan depan, sepulang sekolah, kalian wajib ikut pelajaran Gambang Kromong. Besok surat untuk orang tua akan diedarkan," ujar Pak Sholeh.

Steve dan Gambang Kromong
Oleh Nur Izzi Muntaha

Sepekan pun berlalu. Pelajaran Gambang Kromong dimulai. Steve terlihat sangat bersemangat, sementara Doni malah tidak senang.

"Kampungan ah! Aku malas ikut! Bilang saja sama Pak Sholeh, aku sakit. Jadi mesti pulang duluan." kata Doni.

"Don, mengapa begitu? Ayo ikutan sebentar saja. Aku tahu, kamu mau main gameboy, kan? Nanti, setelah pelajaran Gambang Kromong, kita main gameboy bareng di rumahku, yuk!" bujuk Steve.

Sayangnya, Doni tidak peduli. Dia melangkah pergi meninggalkan kelas.

Ternyata, kegiatan dari Pak Sholeh ini adalah untuk melestarikan kebudayaan Betawi yang sudah mulai dilupakan. Pak Sholeh berencana ingin mengirim kami untuk mengikuti lomba Gambang Kromong tingkat SD se-Jakarta.

Kami pun belajar dengan giat. Main Gambang Kromong ternyata sangat menyenangkan. Steve terlihat senang. Dicobanya semua peralatan, dari alat musik gesek yang bernama Kongahyam, Tehyan, dan Skong. Alat-alat musik ini ternyata adalah alat musik China yang dipadukan dengan alat musik pribumi seperti Gambang, Kromong, Kecrek, Kemor, Gendang kempul, dan Gong.

"Wah, asyik sekali, ya! Aku suka sekali memainkan Gemdang kempul ini. Bunyinya menyenangkan. Sayang, Doni tidak bisa ikut," ujar Steve yang terus mencoba satu-persatu alat musik Gambang Kromong.

Sebulan berlalu, kelas kami berlatih dengan giat namun penuh canda. Sayangnya, Doni tidak pernah mau diajak ikut. Akhirnya, kelas kami tampil dalam lomba antar SD se-Jakarta. Berkat latihan dan kerja keras serta doa, kami pun berhasil menjadi juara satu. Sejak saat itu, kelas kami sering bermain Gambang Kromongbkeliling Jakarta. Bahkan pernah tampil di depan Gubernur DKI Jakarta.

Kami sangat senang. Steve selalu manjadi sorotan ketika kami bermain Gambang Kromong.

Pada suatu hari, Steve membawa berita heboh di kelas.

"Teman-teman, ibuku sangat suka dengan Gambang Kromong. Ibu mengajak kita semua untuk mementaskannya di Belanda, dalam acara Pentas Budaya Indonesia," ujar Steve yang disambut teriakan heboh di kelas kami.

Sayang, Doni tidak bisa ikut. Dia tidak tercatat sebagai anggota Gambang Kromong. Apa boleh buat. Akhirnya kami tetap tampil di Belanda tanpa Doni. Ternyata mencintai kebudayaan daerah sangat menyenangkan. Kalau bukan kita yang melestarikan kebudayaan bangsa, siapa lagi?

Steve dan Gambang Kromong oleh Nur Izzi Muntaha
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Minggu, 19 April 2020

Lukisan Maya

Lukisan Maya


Maya adalah seorang anak perempuan yang manis. Ia tinggal di tengah hutan dengan kedua orang tuanya yang miskin. Maya suka sekali melukis. Sayang, kedua orang tuanya tidak mampu untuk membelikannya alat-alat melukis. Walaupun begitu, Maya tidak putus asa.

Maya terbiasa menggambar di mana saja. Kadang di belakang kertas bekas yang dibuang orang di jalan. Kadang ia mencorat-coret tanah di halaman belakang rumahnya dengan sebatang ranting. Ia juga akan gembira jika menemukan sepotong kapur di jalan.

Lukisan Maya sebenarnya bertebaran dimana-mana. Sayangnya, tidak ada penduduk desa yang menyadari bakat Maya. Kecuali para peri, bidadari, dan kurcaci yang sering berjalan-jalan di hutan pada malam hari.

"Uwaa... Maya itu pintar melukis, ya!" seru Peri Angin kagum. Ia menemukan sepotong gambar pemandangan di tanah. Di dekat pohon ceri yang sedang berbuah.

"Betul!" angguk bidadari bergaun merah. "Lihat, gambar bulan dan bintangnya indah sekali, persis aslinya!"

"Kita minta Maya, yuk, untuk melukis dekorasi di pesta akhir tahun nanti!" usul kurcaci bercelana biru. Semua yang mendengar langsung mengangguk setuju. Mereka membayangkan meriahnya pesta mereka nanti.

Setiap akhir tahun, para kurcaci, peri, dan bidadari memang selalu membuat pesta meriah untuk menyambut tahun baru. Di pesta itu, semua berdandan cantik dan mengenakan baju yang bagus. Suasananya sangat meriah. Ada tarian, musik, dan makanan yang lezat. Tetapi, sayangnya, selama ini tempat pesta mereka tidak didekorasi.

"Kalau Maya membuat lukisan untuk dekorasi pesta kita, pasti pesta kita jadi lengkap!" seru peri mawar bersemangat.

"Ide yang bagus!" puji Ratu Peri. "Tapi, apakah Maya bersedia?"

"Maya pasti mau membantu!" ujar Peri Matahari yakin. "Aku selalu mengamati Maya. Ia anak yang baik dan suka menolong orang!"

Ratu Peri kemudian mengutus Peri Mawar, Peri Angin, dan kurcaci bercelana biru untuk mendatangi Maya.

Alangkah kagetnya Maya ketika suatu malam ia mendapat tamu. Tiga makhluk mungil bertengger di sisi kasurnya yang tergeletak di lantai.

"Siapa... kalian?" tanya Maya agak takut.

"Jangan takut!" Peri Mawar tersenyum manis. "Kami datang untuk meminta bantuanmu. Kamu mau menolong kami?"

"Apa yang bisa kubantu?" tanya Maya ramah setelah rasa terkejutnya hilang. "Aku... aku tidak menyangka bisa bertemu peri dan kurcaci. Kukira kalian hanya ada di dalam dongeng bobo."

Peri Angin tersenyum dan meniup rambut Maya. Udara yang tadinya panas, langsung terasa lebih sejuk. Maya tersenyum gembira.

"Kami ini betul-betul ada," jelas kurcaci bercelana biru. "Kalau kamu mau, datanglah ke pesta akhir tahun. Aku akan mengenalkanmu kepada seluruh penghuni hutan yang belum pernah kamu lihat."

"Oh, ya?" Maya melonjak gembira. "Senang sekali, tapi... bagaimana caranya?"

"Pertama, kami meminta bantuanmu untuk mendekorasi pesta akhir tahun nanti. Kamu mau, kan?" pinta Peri Angin memelas. Tentu saja, Maya langsung mengangguk setuju.

Beberapa hari berikutnya, setiap ada waktu luang. Maya pasti melukis di tengah hutan. Di tempat pesta akhir tahun diadakan. Maya melukis di tanah dengan tongkat ajaib milik Ratu Peri. Lukisan Maya berkilauan indah. Maya juga melukis di pohon. Lukisan itu berpendar dalam gelap. Maya juga merangkai daun, ranting, dan bunga di sana-sini sebagai penghias pesta.

Akhirnya, hari yang dinanti-natikan pun tiba. Para penghuni hutan sangat takjub melihat lukisan Maya yang tersebar di sana-sini.

Suasana pesta jadi terasa jauh lebih meriah. Ratu Peri tersenyum gembira. Maya benar-benar anak yang baik.

"Terima kasih, Maya!" seru para penghuni hutan.

Maya mengangguk dan tersenyum senang. Ini adalah saat yang tak bisa dilupakannya. Ia gembira bisa berkenalan dengan para penghuni hutan. Kurcaci, peri, dan bidadari yang semula ia kita hanya ada di negeri dongeng.



"Sebagai tanda terima kasih, terimalah ini!" Ratu Peri memberikan Maya sekantung uang emas. Juga bros emas berbentuk rangkaian bunga, persis seperti yang Maya buat untuk mereka. "Ini upah untuk kebaikanmu yang suka menolong orang," ucap Ratu Peri berseri-seri.

Betapa senangnya Maya. Dengan uang emas dari Ratu Peri, Maya membeli alat-alat lukis. Ia lalu membuka toko lukisan. Banyak sekali orang yang membeli lukisan Maya. Kini, keluarga Maya bisa hidup lebih baik.
.


.
Lukisan Maya oleh Rina M. Suryakusuma
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Jumat, 17 April 2020

Kartu Lebaran Salah Alamat


Kartu Lebaran Salah Alamat

Sebentar lagi lebaran. Suatu hari sepulang sekolah, Didik, Memed, Umi, Iin, dan Dian mengobrol temtang pakaian baru, sepatu baru, sandal baru, uang saku lebaran, dan lain-lain. Hanya Iwan yang diam saja.

"Aku sudah dibelikan pakaian tiga stel oleh ibuku. Bagus-bagus modelnya. Belinya, di Pekalongan Plaza. Kalau kalian ingin melihatnya, datang saja ke rumahku!" kata Umi dengan bangga. Teman-temannya mendengarkan dengan wajah penasaran, kecuali Iwan, yang tetap saja menunduk.

"Wah, asyik, ya, punya ibu sebaik itu," cetus Didik.

"Memangnya, ibu kamu nggak baik, Dik?" tanya Umi dan Iin bersamaan.

"Ibuku sih baik, tapi kan, aku punya dua adik. Jadi, biar adil. Ibu memberikan kami masing-masing satu stel," jelas Didik.

"Aku juga baru dibelikan satu stel!" kata Dian.

"Tapi, kalau nanti kakakku datang dari Jakarta, aku pasti dapat oleh-oleh sepatu dan pakaian baru lagi."

"Heh, dari tadi ngomong baju sama sepatu melulu!" seru Memed. "Puasa kalian masih tetap jalan nggak...?"

"Masih jalan dong, Meeed....!" Jawab mereka serentak. Namun, Iwan masih saja membisu. Wajahnya sangat sedih.

"Kamu kenapa, Wan? Sakit, ya?" tanya Memed penuh perhatian. Teman-temannya yang lain juga menatap pada Iwan.

"Eh, aku nggak apa-apa kok. Puasaku juga belum bolong," jawab Iwan tenang, menutupi hatinya yang sedang sedih.

Petang itu, ketika maghrib tiba. Iwan berbuka puasa dengan segelas teh manis. Sebab, hingga waktu maghrib tiba tadi, masakan Ibu belum matang. Maklum, Ibu mulai memasak menjelang maghrib, setelah pulang bekerja.

Ya, semanjak ayah Iwan meninggal, ibunya harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Untuk membayar uang sekolah Iwan dan Anto, adiknya. Ibu bekerja menjadi buruh penjemur ikan asin di utara kota. Pukul delapan pagi, Ibu sudah berangkat, dan pulang setelah petang hari.

Tahun kemarin, setelah menjelang Lebaran, Iwan bisa gembira seperti teman-temannya tadi. Ayah dan Ibu, pasti akan mengajak dia dan Anto pergi ke Pasar Banjarsari untuk membeli pakaian baru dan kue-kue untuk Lebaran. Apalagi kalau puasa mereka penuh satu bulan, Ayah pasti akan memberikan uang saku lebaran sebagai hadiah.

Mengenang semua itu, hati Iwan jadi sedih. Ia tak tega melihat Ibu bekerja keras. Kulit tubuh dan muka Ibu jadi hitam karena terpanggang matahari waktu menjemur ikan. Iwan pernah nekat jadi tukang parkir. Tapi ketika Ibu mengetahuinya, ia melarangnya. Menurut Ibu, Iwan masih terlalu kecil untuk bekerja. Apalagi menjadi tukang parkir di pinggir jalan raya.

"Wan, ayo kita berbuka bersama!" suara Ibu menyadarkan Iwan dari lamunannya.

Di meja makan telah terhidang nasi yang masih mengepul, sayur asem, ikan asin goreng, sambal terasi, dan lalap mentimun. Iwan makan dengan lahap seperti Ibu dan Anto. Di sela-sela makan, Anto merengek minta dibelikan baju Lebaran.

"Sabar ya, To. Nanti kalau Ibu sudah dapat THR, pasti Ibu belikan," Ibu membujuk dengan halus, Anto pun terdiam.

Hati Iwan gelisah. Ia juga ingin meminta baju baru pada Ibunya. Tapi, ia tidak tega dan malu. Ia kan sudah besar. Tak pantas merengek-rengek. Iwan akhirnya hanya diam.

Esok harinya, usai Sholat Dhuhur di musholla, Iwan pulang dengan tergesa-gesa. Kata Memed, ada Pak Pos di depan rumahnya. Tetapi, setibanya di rumah, Pak Pos itu sudah pergi. Ada sepucuk surat di lantai dekat pintu. Iwan segera memungutnya. Dibacanya nama dan alamat yang tertera di amplop, "Kepada sahabatku Bayu Ariotomo, Jalan Jenderal Sudirman 319A...."

Sejenak Iwan tertegun. Ia tidak mengenal nama itu.

"Wah, ini pasti salah alamat. Alamatku, kan, Jalan Jenderal Sudirman 3/19A!" guman Iwan. "Kalau alamat di surat ini, sih, letaknya di pinggir jalan raya."

Hari itu kebetulan Ibu pulang cepat. Iwan memperlihatkan surat itu kepada Ibunya.

"Sepertinya, ini Kartu Lebaran. Tapi.... sepertinya sangat berarti bagi si penerima. Hmm...alamatnya, kan, nggak jauh dari sini. Kamu antar ke sana ya, Wan!"

Iwan menuruti saran Ibunya. Sore hari setelah mandi dan Sholat Ashar. Ia mencari alamat tersebut. Tanpa kesulitan Iwan berhasil menemukannya. Ternyata Bayu Ariotomo sebaya dengan Iwan. Rumahnya besar dan indah. Orang tua Bayu adalah pengusaha sarung tenun.

"Wah, ini Kartu Lebaran dari Sari, sahabat penaku. Terima kasih, ya!" ujar Bayu gembira. Dengan ramah, ia mengajak masuk ke rumahnya.

Oleh orang tua Bayu, Iwan diberi hadiah Lebaran sebuah parcel besar. Isinya sarung, pakaian, kopiah, sirup, dan kue-kue kaleng. Juga amplop berisi uang yang cukup bagi belanja Ibu untuk Lebaran nanti. Ibu, Iwan, dan Anto sangat bersyukur pada Allah SWT atas rezeki yang tak terduga itu.
.

Kartu Lebaran Salah Alamat oleh Purwandi T. Darsiyan

Selasa, 14 April 2020

Patung Simpson

Patung Simpson

Simpson melihat kalendernya.
"Hari ini, Gipsy Moth berulang tahun. Aku akan membuat hadiah yang membuat ia teringat padaku."

Simpson segera bekerja. Ia membuat patung yang melihat dirinya. Gypsy gembira ketika melihat patung itu.

"Oh, Simpson, ini hadiah terhebat di dunia. Aku akan teringat padamu setiap kali melihatnya."

Simpson juga bangga melihat sahabatnya gembira. Malamnya, hujan turun sangat deras. Pagi harinya, semua jalan tertutup lumpur. Akan tetapi, Simpson tetap bermain ke rumah Gypsy dan mengajaknya bermain.

"Oh, maaf Simpson, aku tidak bisa bermain sekarang. Patung hadiahmu ini kotor terkena lumpur. Aku harus membersihkannya dahulu," jawab Gipsy.

Keesokan harinya, Simpson kembali datang ke rumah Gipsy. Lalu mengajaknya bermain lagi.

"Aduuh, maaf tidak bisa. Aku harus menanam bunga indah di sekeliling patungmu ini."

Simpson pulang dengan kecewa. Besoknya, ia kembali datang ke rumah Gipsy. Tapi, lagi-lagi Gipsy tidak bisa.

"Maaf lagi Simpson. Rumput di dekat jendelaku terlalu tinggi. Harus kupangkas dulu, sebab aku tidak bisa melihat patungmu dari dalam rumahku," jawab Gipsy panjang lebar.

Di sepanjang perjalanan pulang, Simpson merasa menyesal. Andai saja ia tidak membuatkan patung untuk Gipsy. Sekarang, Gipsy tampaknya lebih menyukai patung itu daripada Simpson yang sebenarnya.

"Aha!" Simpson tiba-tiba mendapat ide. Ia lalu membuat sebuah patung lagi. Kali ininia membuat patung Gipsy.

"Patung Gipsy ini yang akan menemaniku," kata Simpson.

Akan tetapi, patung Gipsy sama sekali tidak membuat Simpson senang. Tiba-tiba, Gipsy yang sebenarnya muncul sambil berkata, "Semua pekerjaanku sudah selesai. Sekarang, ayo kita bermain!"

Simpson masih sakit hati, "Tidak, aku sedang bermain dengan teman baruku," jawabnya.

"Oya...?? Apakah aku boleh ikut bermain? Karena aku sangat rindu dengan temanku yang bernama Simpson."

"Whatt...?? Kau rindu dengan Simpson yang sebenarnya?" tanya Simpson.

"Tentu saja! Aku rindu dengan satu-satunya Simpson yang ada di dunia ini," kata Gipsy. Oh, betapa senangnya hati Simpson. Akhirnya, Gipsy yang sebenarnya, dengan Simpson yang sebenarnya, mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya bersama-sama.

( Diterjemahkan oleh Wiendaru Gunadi, dari The Ups and Downs of Snail ).
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Minggu, 12 April 2020

Jika Tersesat Jangan Panik


Jika Tersesat Jangan Panik

Rapor dibagikan. Horee... libur telah tiba! Aku berdebar-debar menantikan saat istimewa ini. Soalnya, Ayah dan Ibu mengajakku berlibur ke London. Inilah, kali pertama aku melakukan perjalanan ke luar negeri. Wah... seperti apakah ibu kota Inggris itu? Aku tak bisa tidur membayangkannya.

Orang tuaku telah lama merencanakan perjalanan ini. Mereka ingin memberikan pengalaman lain kepadaku. Kedua orang tua ku bekerja pada lembaga internasional. Jadi mereka sering bepergian ke luar negeri. Sementara aku belum pernah ke luar negerj sama sekali. Oleh karena itu, mereka mengatur cuti bersamaan dengan libur sekolahku, agar dapat mengajakku berlibur ke luar negeri.

Ayah dan Ibu sepakat untuk tidak ikut paket wisata yang dikelola oleh biro perjalanan. Mereka khawatir aku akan kelelahan. Biasanya, biro perjalanan mempunyai jadwal yang padat. Di samping itu, mereka ingin benar-benar santai dan menentukan sendiri obyek wisata yang akan dikunjungi. Memang agak repot, sih. Kulihat, Ibu menyiapkan rendang lauk kesukaanku. Beliau khawatir, lidahku tidak cocok dengan makanan di London. Geli juga melihat Ibu mengepak rendang. Namun, dalam hati, aku terharu melihat perhatian Ibu.

Hari yang ditentukan pun tiba. Kami menumpang Pesawat Garuda menuju London. Setibanya kami di Bandara Heathrow, kami langsung menuju Hotel Phoenix di jalan Bayswater di pusat kota. Pilihan yang menyenangkan. Hotel itu dekat dengan pusat pertokoan. Di sini, kami mudah mendapat kendaraan yang mengantarkan kami ke tujuan. Busnya bersih dan pengemudinya tertib sekali. Ia tidak mau berhenti di sembarang tempat.

Hari kedua, Ibu mengusulkan mengunjungi Buckingham dan Kensington Palace. Wow, tentu saja aku setuju! Aku ingin melihat upacara pergantian penjagadi depan Buckingham Palace. Kami pun meluncur ke sana. Tepat ketika kami tiba, upacara pergantian penjaga tengah berlangsung. Para penjaga mengenakan seragam merah, celana dan bertopi hitam berbaris rapi. Sementara para polisi wanita, mengatur para penonton dengan gesit. Mereka naik kuda dan potongan rambut mereka pendek. Dari kejauhan tampak seperti pria. Kami sempat terkecoh.. wkwkwk...

Perjalanan kami lanjutkan ke taman-taman di sekitar kota. Kami berjalan kaki menikmati Kota London yang dipenuhi bangunan klasik bersejarah. Kami menuju pemberhentian bis, dan perjalanan kami lanjutkan dengan naik bis. Ayah mengingatkan, bila kami melewati taman yang menarik, kami akan turun dan bersantai di sana.

Bis bergerak menyusuri jalan raya. Tak lama kemudian, Ayah meminta kami bersiap-siap turun di halte terdekat. Begitu bis berhenti, aku bergegas keluar. Setelah turun, aku baru sadar, bahwa Ayah dan Ibu masih berada di dalam bis. Seeett... pintu bis tertutup kembali. Aku mengetuk-ketuk pintu, tetapi bis terus melaju.

Sejenak aku tertegun, ini London, bukan Jakarta. Bagaimana bila terjadi sesuatu padaku? Ingin rasanya aku menangis. Namun, tiba-tiba pesan Ibu terngiang di telingaku. Aku tidak boleh panik bila tersesat. Jika panik, aku tidak bisa berpikir jernih. Berkali-kali aku menghela nafas meredakan kecemasanku. Aku harus kembali ke hotel. Gapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu jalan menuju hotel. Lebih baik aku bertanya pada polisi.

Kuamati sekitarku, tidak ada polisi. Pelan aku berjalan mengelilingi taman. Dengan hati berdebar-debar, aku berharap bertemu polisi. Namun sampai pegal kakiku, tidak kujumpai seorang polisi pun. Kulihat telepon umum. Aku hendak menanyakan nomor telepon hotel di layanan informasi. Kuraba saku bajuku. Tidak ada uang sedikit pun. Tanpa terasa, air mataku menitik. Aku benar-benar cemas.

Lunglai aku melangkah ke bangku terdekat. Seorang ibu duduk sambil asyik membaca di situ.

"Excuse me. May I sit here?" ujarku terbata-bata. Terus terang saja, bahasa inggris ku masih belepotan.

"Sure," jawab Ibu itu tersenyum manis.



Aku lega. Ibu itu bernama Rebecca. Ia ramah sekali. Aku tanyakan letak Hotel Phoenix. Aku ceritakan kejadian yang menimpaku. Di luar dugaan, ia mau mengantarkh ke hotel. Aku menangis memeluknya saking bahagia. Tiba di hotel, Ayah dan Ibu berada di lobi sedang ditanyai oleh polisi. Begitu melihat aku, Ibu menangis memelukku. Sementara Ayah berbicara dengan Rebecca.

Keesokan paginya, kami masih shock. Tidak ke mana-mana. Seharian di hotel bosan juga. Sorenya, Ayah mengajak ke Travalgar Square, taman yang indah dengan bunga dan tumbuhan yang hijau asri. Burung merpati berkeliaran bebas di sini. Indahnya sore ini, ketakutanku karena tersesat perlahan hilang.
.
.
Cerpen Jika Tersesat Jangan Panik oleh Mudjibah Utami
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Kamis, 09 April 2020

Pemanah yang Sombong

Pemanah yang Sombong

Arya dan Seta, berguru memanah kepada Resi Bhirawa, seorang pemanah yang ulung.

Arya dan Seta sama-sama pemanah berbakat. Sulit menentukan, siapa yang lebih pandai. Keduanya juga rajin berlatih dan selalu patuh kepada Resi. Hanya watak mereka yang sedikit berbeda. Arya berwatak keras, angkuh, dan sangat ingin menjadi pemanah terbaik. Sebaliknya Seta berwatak lembut, rendah hati, dan selalu menyembunyikan kemampuannya.

Setelah merasa cukup memberikan ilmu, Resi Bhirawa berpesan kepada kedua muridnya.

"Muridku, sudah saatnya kalian meninggalkan padepokan ini. Kejarlah cita-cita kalian di luar sana. Pesanku, jadilah orang baik dan selalu membela kebenaran."

Arya dan Seta memberi hormat, dan dengan berat hati meninggalkan gurunya.

Arya melanjutkan perjalanan menuju istana kerajaan Kahuripan. Berkat kepandaiannya memanah, ia diterima menjadi prajurit. Tidak lama kemudian ia diangkat sebagai prajurit kepala.

Seta memilih untuk hidup tentram di desa. Ia bertani dan sesekali berburu. Untuk menjaga kemampuannya, ia rajin berlatih memanah.

Suatu ketika, Prabu Awangga, Raja Kahuripan, mengadakan sayembara memanah. Pemenangnya akan menjadi menantu raja. Menjadi suami Putri Dewi Sekar Sari. Sayembara tersebar sampai ke pelosok desa dan negara-negara tetangga.

Sebagai pemanah, Arya sangat yakin akan menjadi pemenang.



"Tidak akan ada yang sanggup mengalahkan aku!" kata Arya dengan sombong kepada teman-temannya.

Hari perlombaan akhirnya tiba juga. Ribuan rakyat berkumpul di lapangan, menyaksikan jago-jago pemanah bertarung. Para pangeran, panglima, dan orang biasa mempertunjukkan kehebatan memanah. Penonton berdecak kagum dan bersorak-sorak memberi semangat.

Pada akhirnya, memang Aryal ah yang menjadi pemenang. Tak ada yang bisa mengalahkannya. Anak panahnya selalu tepat mengenai sasaran. Penonton bersorak-sorai menyambut kemenangannya.

Perdana Menteri bersiap hendak mengumumkan pemenang sayembara. Namun tiba-tiba ada pemuda yang bersenjata panah, maju ke tengah gelanggang.

"Tunggu!" teriaknya.

Arya terkejut. Pemuda itu adalah Seta, saudara seperguruannya.

"Ada apa anak muda? Kenapa kau menyela pengumumanku?" tanya Perdana Menteri agak marah.

Seta menghaturkan sembah. "Ampun Perdana Menteri. Nama hamba Seta. Hamba ingin bertanding dengan sang juara. Apakah masih diperkenankan?" tanya Seta tenang.

Perdana Menteri berunding dengan petinggi yang lain. Akhirnya, Seta diijinkan bertanding dengan Arya.

Kedua pemuda itu dengan gagah beriring menuju lapangan. Arya berjalan dengan sombong, sementara Seta tampak tenang dan rendah hati.

Di babak pertama, mereka membidik sasaran di papan yang bergaris lingkar. Pada babak ini nilai keduanya sama-sama imbang. Di babak kedua, mereka membidik sasaran burung yang terbang. Lagi-lagi keduanya tidak ada yang kalah.

Pada babak terakhir, keduanya disuruh menentukan jenis pertandingan.



Arya memilih sasaran buah apel yang diletakkan di atas kepala peserta secara bergantian. Penonton berdebar-debar. Namun kembali keduanya berhasil memanah secara tepat.

"Sekarang giliranmu Seta! Tentukan sasaran yang harus dipanah!" tegas Arya.

Seta kemudian meminta dua batang bambu yang sama besar dan panjangnya. Kedua batang bambu digantung di dahan pohon, di atas kolam yang jernih. Separuh batang bambu di atas air, separuhnya di dalam air. Di dalam air, terlihat batang bambu menjadi bengkok.

"Bidiklah bambu di dalam air. Anak panah yang menancap pada bambu, adalah pemenangnya," jelas Seta.

Kedua pemanah bersiap-siap menunggu aba-aba. Setelah aba-aba dibunyikan, secepat kilat mereka membidik sasaran. Anak panah Arya menuju bayangan bambu yang bengkok. Sementara Seta membidik daerah yang sejajar dengan bambu di permukaan air.

Ketika bambu diangkat, ternyata anak panah Seta menancap pada sasaran. Sedangkan anak panah Arya meleset. Para penonton berseru terkejut.


Arya terlihat lemas dan kecewa. Namun, sebagai ksatria ia mengakui kemenangan Seta dan memberikan selamat.


"Selamat atas kemenanganmu. Bagaimana kau dapat membidik dengan tepat?" tanya Arya.

"Dengan ilmu dan kebijaksanaan," bisik Seta. "Kadang pandangan mata bisa menipu. Karena itu jangan selalu melihat sesuatu dari luarnya."

Arya menganggukkan kepala. Kini ia berjanji tidak sombong dan membanggakan diri.

Seta akhirnya menjadi menantu Raja Awangga. Ia tetap hidup rendah hati dan bahagia dengan istrinya. Arya diangkat menjadi panglima kerajaan dan menikah dengan adik Putri Sekar Sari, yaitu Putri Intan Sari. Kedua pemanah itu menjadi pelindung kerajaan yang membanggakan seluruh negeri Kahuripan. ( Rahmat Siswoko )

Selasa, 07 April 2020

Teka-Teki Tiga Patung


Teka-Teki Tiga Patung

Dahulu kala, hiduplah seorang raja di India. Suatu hari, datanglah seorang utusan dari negara tetangga. Utusan itu membawa sebuah kotak ukir yang terbuat dari perak.

"Tuanku Baginda, raja kami mengirim hadiah ini kepada Baginda, sebagai tansa persaudaraan," kata utusan itu dengan hormat.

Raja dari India ini menerima kotak tersebut dan membukanya. Di dalam kotak itu terdapat tiga patung yang berukir indah. Bentuknya sama persis.

"Bagus sekali patung-patung ini!" kata Raja kagum.

"Tuanku Baginda, menurut raja kami, meskipun patung ini tampak serupa, mereka memiliki perbedaan masing-masing. Raja kami meminta Tuanku untuk memilih salah satu dari ketiga patung itu. Dua patung lainnya tolong dikembalikan kepada hamba," kata utusan tersebut.

Semua orang yang berada di ruangan itu merasa heran dan ingin tahu. Raja mengamati ketiga patung tersebut satu-persatu. Sayangnya, ia sama sekali tidak menemukan perbedaan. Ukiran, bentuk, mata, hidung, telinga, kaki, dan tangan ketiga patung itu, semuanya sama. Tinggi dan beratnya pun sama.

"Pasti ada perbedaan yang tersembunyi yang tidak bisa kutemukan dalam waktu singkat," pikir Raja penasaran. Raja lalu berkata pada utusan itu, "Aku perlu waktu untuk memutuskan. Silahkan engkau beristirahat di pondok tamu. Aku akan memanggilmu besok."

Ketika utusan itu telah pergi, Raja bertanya mepada para menterinya, "Apakah kalian bisa melihat perbedaan di antara ketiga patung ini?"

Semua menteri mengamati ketiga patung tersebut dengan cermat. Namun, tak seorang pun dari mereka bisa menemukan perbedaannya. Raja sangat kecewa dan memandang keluar istana. Pada saat itulah, ia melihat puteranya, Pangeran Rajiv, yang terkenal cerdas. Raja segera memanggil puteranya tersebut.

"Rajiv, anakku, seorang teman dari kerajaan tetangga mengirimi Ayah tiga patung. Ayah harus memilih salah satu dan mengembalikan dua patung lainnya. Katanya, meski ketiga patung itu tampak mirip, mereka sebetulnya memiliki perbedaan. Carilah perbedaan tersebut, anakku!" kata Raja.

Pqngeran Rajiv segera membawa ketiga patung tersebut ke kamarnya. Ia mengamati dengan cermat dan melakukan beberapa percobaan untuk mencari perbedaannya. Namun, tak ada hasilnya. Fajar hampir menyingsing. Pangeran Rajiv hampir putus asa. Tiba-tiba, ia mendapat akal.

Pangeran Rajiv segera mengambil sebuah baskom besar berisi air. Ketiga patung itu, ia masukkan ke dalamnya satu-persatu. Pangeran tersenyum melihat gelembung yang keluar dari patung-patung itu. Pertanyaan telah terjawab.

Pagi harinya, semua petinggi kerajaan berkumpul di balairung istana. Mereka tak sabar menunggu jawaban dari sang pangeran.

"Anakku, apakah kau bisa menemukan perbedaan tersebut?" tanya Raja dengan tak sabar.

"Ya, Ayah, masing-masing patung ini membawa pesan," kata Pangeran Rajiv. Semua orang memandangnya takjub. "Ada orang yang mendengarkan dengan satu telinga, dan membiarkannya keluar lewat telinga lain. Lihatlah patung ini."

Pangeran Rajiv mengambil salah satu patung. Ia memasukkan sehelai kawat halus ke lubang telinga patung itu. Ujung kawat keluar dari lubang telinga yang lain.

"Si pemberi patung berharap, Ayah tidak memiliki teman yang sifatnya seperti patung ini."

Pangeran Rajiv lalu mengambil patung kedua dan memasukkan ujung kawat halus tadi ke lubang telinga patung. Ujung kawat keluar dari mulut patung kedua.

"Ayah, patung ini menggambarkan orang yang suka mendengarkan sesuatu, lalu menceritakannya kepada orang lain. Si pemberi patung ingin agar Ayah tidak memiliki teman seperti patung ini, karena ia tidak bisa dipercaya."

Semua orang yang hadir terdiam mendengarkan penjelasan itu. Kemudian Pangeran Rajiv mengambil patung ke tiga. Ia memasukkan ujung kawat halus tadi melalui lubang telinga patung, namun ujung kawat tidak bisa keluar dari lubang manapun.

Raja segera tahu, patung mana yang harus dipilihnya. Ia pun memanggil utusan dari negara tetangga.

"Aku telah memilih salah satu dari ketiga patung pemberian rajamu. Dua patung lainnya boleh kau bawa pulang. Sampaikan hormat dan terima kasihku kepada rajamu. Pemberian ini sangat berharga."

Utusan itu pun pulang ke negerinya.

Raja lalu menyerahkan patung yang dipilihnya itu kepada Pangeran Rajiv. "Anakku, Ayah sangat bangga pada kerja keras dan kecerdikanmu," pujinya.

Pangeran berlutut dan menerima patung tersebut dengan hormat. Semua orang yang berada si ruangan itu bertepuk tangan kagum pada kecerdikan sang pangeran.
( Cerita rakyat India, The Three Statues, diceritakan kembali oleh Laurensia. )

Minggu, 05 April 2020

Kecebong Mancari Ibunya


Kecebong Mencari Ibunya

Ada sekelompok kecebong sedang bermain di sungai kecil. Saat itu, datanglah seekor itik membawa anak-anaknya berenang di sungai. Melihat anak-anak itik bersama dengan Ibunya, kecebong itu teringat kepada Ibu mereka sendiri.

"Di mana, ya, Ibu kita?" para kecebong saling bertanya. Tapi, tak ada yang bisa memberikan jawaban. Mereka mendekati Ibu Itik.

"Bu Itik, Ibu kami dimana, ya? Tolong beritahu kami, bagaimana bentuk Ibu kami!" Tanya para kecebong pada Ibu Itik.

"Ibu kalian memiliki sepasang mata besar di kepala, mulutnya juga besar dan lebar," jawab Ibu Itik. "Pergilah kalian mencarinya."

"Terima kasih, Ibu Itik," kata para kecebong gembira.

Waktu itu, lewatlah seekor ikan besar di dekat mereka. Para kecebong melihat sepasang mata besar ikan itu. Mulutnya juga besar dan lebar.

"Ibu! Ibu!" teriak para kecebong kecil pada ikan besar.

"Saya bukan Ibu kalian," kata ikan besar sambil tersenyum. "Saya adalah Ibu dari ikan-ikan kecil. Ibu kalian memiliki empat kaki."

"Terima kasih, Ibu Ikan," kata kecebong sambil terus berenang.

Seekor kura-kura tampak sedang berenang ke arah mereka. Kecebong melihat, kura-kura memiliki empat kaki.

"Ibu! Ibu!" panggil kecebong pada kura-kura.

"Saya bukan Ibu kalian. Saya seekor kura-kura," kata kura-kura. "Ibu kalian memiliki kulit perut berwarna putih."

Kecebong melihat angsa putih yang sedang berenang di tempat itu. Perutnya berwarna putih. Mereka berpikir, angsa putih itu adalah Ibu mereka.

"Ibu! Ibu!" panggil kecebong pada angsa putih.

"Saya adalah Ibu dari anak-anak angsa. Ibu kalian mengenakan baju berwarna hijau. Kalau bernyanyi, suaranya kuak-kuak!" kata angsa putih.

Kecebong berenang lagi sampai ke tepi danau. Di sana, mereka melihat seekor katak di atas sehelai daun sedang bernyanyi kuak-kuak. Mereka segera berenang ke sana dan berkata,

"Apakah Anda melihat Ibu kami? Dia mempunyai sepasang mata besar, mulutnya juga lebar. Dia memiliki empat buah kaki. Perutnya berwarna putih. Dia memakai baju warna hijau. Dan kalau bernyanyi, suaranya kuak-kuak."

Mendengar pertanyaan itu, Katak tertawa terbahak-bahak.

"Anak-anak, Saya adalah Ibu kalian!" kata Katak.

Para kecebong merasa heran.
"Tapi, kenapa bentuk kami tidak sama seperti Ibu?"

Sambil tersenyum, Katak berkata, "Kalian masih kecil. Beberapa hari lagi, dari tubuh kalian akan muncul empat kaki. Lalu, ekor kalian akan mengecil dengan sendirinya. Kalian juga akan memakai baju warna hijau seperti Ibu. Dan bisa meloncat ke sana ke mari untuk menangkap serangga,"

Mendengar hal itu, para kecebong bersorak gembira. "Kita sudah menemukan Ibu kita!!!"
( Diceritakan kembali oleh Djony )
.
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Kamis, 02 April 2020

Mata Kail Keberuntungan


"Uuuhhh..., sebel! Kenapa sih, nggak ada satu pun ikan yang terjerat kailku?" gumam Satria kesal. Dengan kasar, ditariknya alat pancing itu dari dalam kolam.

Hari ini Satria ikut Ayah memancing di kolam pemancingan Tirta Mas. Baru kali ini dia ikut Ayah mancing.

Biasanya, di Hari Ahad begini, dia lebih suka bermain sepeda bersama teman-temannya. Namun sayang, hari itu teman-temannya sudah punya kesibukan masing-masing.

Adi akan membantu Ayahnya mengecat rumah. Joshua ikut orang tuanya berkunjung ke rumah neneknya yang sedang sakit. Sementara Budi yang sedang tidak enak badan, katanya. Tadinya sih, Budi mau saja ikut bersepeda dengan Satria. Namun Ibu Budi melarang keras.


Satria jadi kesal. Tadi dia sudah ingin bersepeda sendiri. Tetapi, apa enaknya bersepeda sendiri. Akhirnya, dia lalu menawarkan diri ikut Ayahnya memancing. Jadilah dia ada di sini sekarang.

"Uh... lagi-lagi sial!" gerutu Satria sambil menghentakkan kaki ke tanah.

Beberapa pemancing lain menoleh ke arahnya. Wajah mereka nampaknya kesal mendengar gerutu Satria.

"Sssttt, kalau lagi mancing itu, tidak boleh ribut," bisik Ayah di sampignya. "Kita pindah saja, yuk!" Ayah lalu mengajak pindah ke tempat yang lebih sepi. Ayah merasa tidak enak kepada pemancing yang lain.

"Ini, Ayah beri mata kail keberuntungan Ayah," kata Ayah sambil menyodorkan sebuah mata kail. Mata kail itu nampaknya sudah cukup tua, sudah karatan, dan penuh goresan.

"Coba kamu pakai. Kalau pakai mata kail ini, Ayah selalu dapat ikan banyak," bujuk Ayah.

Dengan senang hati, Satria memasang mata kail itu di ujung kailnya. Kemudian, dilemparkannya ke air. Huuup...

Satria lalu duduk dengan sabar menanti keajaiban mata kail tersebut. Angin semilir membuat matanya terasa berat.

Hampir saja kepalanya terkulai lemas ketika tiba-tiba dirasakannya suatu hentakan dari kail yang dipegangnya

"Haa! Ayah..... bantu, dong! Ikannya besar nih, Yah," soraknya gembira.


Akhirnya, dengan bantuan Ayah, Satria berhasil menangkap ikan yang lumayan besar. Dia tersenyum bangga. Dilepaskannya mulut ikan itu dari ujung mata kailnya. Ditaruhnya, ikan itu di ember yang sudah disiapkan sebelumnya.

Ia kemudian kembali memasang umpan di mata kail keberuntungannya itu. Dengan sekali sentak, dia melemparkan alat pancingnya ke dalam kolam. Kali ini, aku tidak boleh tertidur lagi, tekadnya.

Beberapa kali, Satria berhasil mendapatkan ikan kembali. Lumayan juga, pikirnya senang.

"Sudah siang, kita pulang, yuk!" Ajak Ayah. "Ibu pasti sudah menunggu dengan bumbu bakarnya yang sedap."

Satria senang membayangkan sebentar lagi dia akan menyantap ikan bakar hasil pancingannya sendiri.

"Ayah, lihat! Aku berhasil dapat 7 ekor. Mungkin ini karena aku memakai mata kail keberuntungan Ayah."

"Sebenarnya, yang hebat itu bukan mata kailnya, tapi kamu...." kata Ayah sambil tersenyum.

"Loh, kok bisa?" tanya Satria heran.

"Kunci keberhasilan memancing itu adalah kesabaran. Tadi, waktu pertama, kamu tidak sabar, bahkan sampai marah-marah. Ya... ikannya jadi lari semua, tidak mau mendekat. Tapi tadi, ketika kamu sudah lebih tenang, ikan pun mendekat dan memakan umpanmu."

"Oh, begitu ya, rahasianya. Kapan-kapan, aku ikut lagi ya, Yah! Aku janji, akan bersikap lebih sabar lagi," janji Satria.

Ia dan Ayahnya lalu tos kepalan tangan di udara sambil tertawa lepas.(Firmanawaty Sutan)

Bangsawan dan Tukang Kebunnya

BANGSAWAN DAN TUKANG KEBUNNYA

Tuan Brandon adalah bangsawan yang sangat kaya. Dia mempunyai seorang tukang kebun yang rajin, bernama Jack. Tukang kebun ini bertugas mengurus tanaman di kebunnya yang megah. Ia tinggal tak jauh dari rumah tuannya.



Tuan Brandon sangat sombong. Ia sama sekali tidak menghargai Jack, meski Jack telah setia mengabdi bertahun-tahun padanya.

Selama ini, Ia hanya menganggap Jack sebagai pembantu miskin yang diupahnya setiap bulan.

Walau dipandang sebelah mata, Jack dan keluarganya tetap bahagia. Ia dan keluarganya bersyukur bisa bekerja di rumah besar itu.

Suatu malam, Tuan Brandon dan keluarganya mengadakan pesta. Jack dan istrinya menyiapkan banyak rangkaian bunga yang indah. Para tamu terpesona dengan rangkaian bunga itu. Mereka ingin bertemu dengan Jack, si tukang kebun. Tetapi Tuan Brandon berkata dengan kasar,

"Ah, tidak perlu. Jack hanyalah tukang kebun yang tua dan kotor. Kalau kalian ingin bertemu dengannya, itu sama saja dengan mengotori diri kalian yang sempurna sebagai seorang bangsawan."

Akhirnya, tak seorang pun yang menanyakan Jack lagi.

Jack sangat sedih mendengarnya. Dia juga tak pernah berharap bertemu para tamu bangsawan. Dia hanya merasa tak suka disebut orang yang kotor.

Begitulah setiap saat. Tuan Brandon, si bangsawan kaya itu, selalu merendahkan tukang kebunnya. Walaupun begitu, kehadiran Jack sangat diharapkannya untuk mengurus halaman rumahnya yang sangat luas itu.

Malam itu langit sangat gelap dan dingin. Angin bertiup kencang. Tuan Brandon merasa tubuhnya tak enak dan kedinginan. Maka dia menyalakan perapian san duduk di sana untuk menghangatkan badan.

Kini tubuhnya terasa panas dan berkeringat. Tuan Brandon membuka salah satu jendela besar di ruangan itu. Angin mengalir masuk. Tuan Brandon terkantuk-kantuk di kursinya yang empuk.

Karena angin bertiup cukup kencang, maka lidah-lidah api di perapian mulai menari-nari. Lidah api itu meliuk-liuk ke kanan dan kiri. Mencoba menyambar apa saja yang di sekitarnya.

Benar saja, lidah api menyambar sebuah buku. Buku itu mulai terbakar. Apinya juga menyambar barang-barang lain di dekatnya. Bahkan lampu minyak di sebelahnya ikut terbakar. Api mulai membesar. Ruangan itu kini dipenuhi asap dan nyala api.

Tuan Brandon terbatuk-batuk dan bangun. Dia tidak bisa melihat apa-apa. Matanya lerih terkena asap. Nafasnya sesak. Dia berteriak-teriak minta tolong.



Sebuah tangan keriput terulur menariknya. Sosok itu membantunya keluar dari ruangan itu dan membaringkannya di rerumputan halaman rumah. Dengan sigap, sosok itu berlari masuk kembali dengan membawa ember berisi air.

Tuan Brandon menangis melihat api membakar rumahnya. Angin yang bertiup kencang semakin membantu api menghabiskan seluruh bangunan rumah. Karena terlalu kaget, Tuan Brandon pun pingsan. Keesokan paginya, Tuan Brandon terbangun. Dilihatnya, rumahnya yang besar kini hanya tinggal puing-puing saja. Dia sangat sedih. Hartanya habis.

Tiba-tiba, sekumpulan orang mendatanginya. Salah satu dari mereka berkata kepadanya, "Tuan, mari ikut ke pemakaman. Tuan harus mengantarkan orang yang sangat berjasa bagi Tuan, menuju tempat peristirahatan terakhirnya."

Tuan Brandon tertegun. "Siapa orang yang sangat berjasa kepadaku itu?"

"Dia Jack, si tukang kebun. Dia meninggal karena berusaha menyelamatkan Tuan dan rumah besar Tuan," jelas orang yang lain.

Tuan Brandon menundukkan kepalanya. Ia menangis. Ia tak menyangka, Jack yang selama ini tak dihargainya, malah menyelamatkan nyawanya. Tapi, apalah artinya penyesalan yang datang terlambat itu...(Priyanti.)
.
.
.
.
.
Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Steve dan Gambang Kromong

Steve dan Gambang Kromong Oleh Nur Izzi Muntaha Hari ini penghuni kelasku bertambah lagi. Namanya Steve. Semua siswa di kelasku menyambut ge...