Minggu, 10 Maret 2019

Rahasia Tiga Kata



Madam Ivora adalah pemilik took roti Ivora yang sangat terkenal di San Fransisco. Dia memiliki tiga anak angkat. Roma si sulung, memiliki watak egois dan serakah. Verto, cerdik dan rendah hati. Serta si bungsu Agusto yang lugu dan penurut.

Suatu malam, keluarga Madam Ivora mendapat masalah. Toko roti mereka hangus terbakar. Mendengar berita itu, Madam Ivora mendapat serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia.

Madam Ivora rupanya sudah membuat surat wasiat sejak jauh hari. Ia mewariskan hartanya untuk ketiga anak angkatnya. Namun, mereka harus mencari sendiri tempat penyimpanan harta itu, sesuai petunjuk yang diberikan oleh Madam Ivora.

Terdiri dari tiga kata yang sering ibu ucapkan ada kalian.
Kata pertama merupakan petunjuk tempat penyimpanan peti.
Kata kedua memiliki bentuk yang sama dengan peti.
Kata ketiga memiliki bentuk yang sama dengan benda pembuka kunci peti.

Ketiga anak itu bekerja sama memecahkan petunjuk tersebut.

“Aku ingat kata-kata yang sering ibu ucapkan pada kita,” kata Roma. “Kau sangat pintar. Harus rajin belajar, atau, ibu sayang kalian. Yang mana kira-kira?”

“Sangat membingungkan,” kata si bungsu Agusto.

“Coba lihat petunjuk ketiga. Kata kedua memiliki bentuk yang sama dengan peti,” ujar Verto tiba-tiba. “Apakah kalian masih ingat? Dulu Ayah pernah memberikan sebuah peti berbentuk hati pada Ibu.”

“Lalu apa hubungannya dengan petunjuk itu?” cela Roma sinis.

“Bentuk hati melambangkan cinta. Cinta itu love. Ibu sering mengucapkan aku sayang kamu, pada kita. Jadi ketiga kata itu pasti I Love U,” Verto menyimpulkan.

“Waah, kakak benar-benar cerdas,” puji Agusto.

Mereka bertiga lalu mencari peti berbentuk hati itu. Roma kesal setelah satu jam lelah mencari tanpa hasil. Verto membaca kembali petunjuk tadi.

“Kata pertama merupakan petunjuk penyimpanan peti. Berarti itu kata I,” guman Verto.

“Kasihan Ibu,” tiba-tiba Agusto teringat almarhumah ibunya, “Jika toko roti Ivora tidak terbakar, pasti serangan jantung ibu tidak kambuh.”

“Ya…, benar sekali!” Verto seperti menemukan ide.
“Kenapa, Kak?” Agusto heran.
“Kau benar sekali Agusto. I pasti singkatan dari kata IVORA. Mungkin Ibu menyimpan peti itu di toko roti kita!”
“Waah…, betul! Kalau begitu, ayo kita cari kesana!” Roma bersemangat.

Toko roti Ivora terlihat berantakan. Puing-puing bekas kebakaran masih berserakan. Mereka bersama-sama mencari peti itu, tak lama kemudian…..

“Hei, lihat! Aku menemukannya,” ujar Roma riang. Dia memegang peti sebesar buah kelapa.
“Horeee…” sambut Verto dan Agusto tak kalah riang.
Malamnya, mereka bertiga berkumpul di ruang keluarga.
“Bagaimana cara membuka peti ini?” tanya Agusto.
“Kita menyerah saja. Mungkin Ibu tidak berniat memberikan warisannya pada kita.” Roma mulai putus asa.

“Jangan menyerah. Kita harus bersabar.” Agusto memberi semangat.
“Lihatlah..!” seru Verto kemudian. “Lubang kunci ini berbentuk U. Sama dengan petunjuk keempat.
“Maksudmu…?” tanya Agusto lugu.
“Maksudnya, kita harus menemukan benda yang bentuknya sama dengan kunci ini.”

Maka mereka segera mencari benda-benda yang berbentuk U. Roma mencoba membuka dengan kunci berbentuk U, dari buatan ahli kunci. Verto mencoba membuka dengan kawat besi. Namun semuanya gagal. Kini giliran Agusto. Ia mencoba membuka dengan tusuk konde emas kesayangan ibunya. Tusuk konde itu dulunya adalah hadiah ulang tahun dari Agusto. Ternyata, kali ini Agusto berhasil.

Akan tetapi, sebelum peti itu terbuka seluruhnya, Roma buru-buru merebut peti itu.

“Hei, kalian harus ingat. Kemarin aku yang berhasil menemukan peti ini. Kalau tidak ada Aku, pasti peti ini belum ditemukan!” ujarnya sombong. “Jadi, Aku harus mendapat setengah dari harta ini. Setengahnya, harus kalian bagi dua.” Katanya licik.

Akan tetapi, betapa kecewanya Roma ketika melihat isi peti itu. Ternyata isinya hanya kertas-kertas resep masakan dan sebuah pulpen emas.

“Hanya ini warisan untuk kita..? Kalau begitu, pulpen emas ini untukku. Dan resep-resep tak berharga ini untuk kalian!” kata Roma, lalu pergi meninggalkan kedua adiknya.

Setahun kemudian.

Toko roti Verto terlihat ramai oleh pembeli. Rotinya tak kalah lezat dengan roti buatan Madam Ivora. Tentu saja, sebab Verto dan Agusto membuat roti sesuai dengan resep warisan ibunya. Ya, mereka berdua melanjutkan usaha milik ibunya, membuka toko roti. Dan kini, mereka menjadi kaya raya.

Sedangkan Roma, ia menghabiskan uang hasil menjual pulpen emas. Karena kalah judi, kini Roma tak punya apa-apa lagi. Akhirnya dia menyesal karena serakah dan menyepelekan warisan ibunya.


Asyia Destriana
Diketik ulang oleh Muhammad Syukur Raharjo
Cerita Keluarga Bobo
Cerpen Rahasia Tiga Kata


Kunjungi juga channel youtube penulis
Jangan lupa untuk like, comment, share, dan subscribe
Karena itu semua gratis

TERIMA KASIH

Minggu, 03 Maret 2019

Lili, Liliput, dan Serbuk Kantuk

Lili, Liliput, dan Serbuk Kantuk


“Uh, malas sekali bikin PR matematika! Bikin pusing” gerutu Lili sambil melempar pensilnya ke atas meja. Ia melirik ke luar jendela. Sore-sore begini, lebih baik main-main dulu di taman, pikirnya. Lili pun segera beranjak dari meja belajarnya.

Di taman, Lili sibuk main sendiri. Teman-teman yang rumahnya berdekatan sedang mengerjakan PR. Bu Tuti, guru matematika mereka, memang memberikan banyak soal latihan. Itu karena ulangan umum sudah sangat dekat.

Tiba-tiba, terdengar suara pekikan dari sudut taman. Lili mencari sumber suara itu. Ia merangkak di antara semak-semak. Di bawah dedaunan, tampak makhluk yang sangat kecil. Ia hanya setinggi jari kelingking Lili.

“Liliput!” guman Lili terkejut. Liliput itu sedang bertengkar dengan seekor Semut Merah.

“Itu serbuk kantuk milikku! Kembalikan!” kata Liliput sambil menunjuk butiran berwarna putih bening yang dibawa Semut Merah. Namun Semut Merah malah siap menggigit Liliput!

CLEP!!!

Lili segera mengangkat si Liliput. Ia pun selamat dari gigitan Semut Merah. Manusia saja bisa gatal-gatal kalau digigit Semut Merah. Apalagi Liliput yang sekecil itu.

Lili dan Liliput berkenalan .

“Terima kasih sudah menolongku. Sebagai tanda terima kasih, aku akan melakukan apa pun permintaanmu, Lili.” Kata Liliput.

“Sungguh?  Kalau begitu, Aku minta kau mengerjakan PR matematikaku!” jawab Lili girang. “Waaah, kalau soal PR bukankah kau yang harus mengerjakannya sendiri?” tanya Liliput.

“Tapi, tadi kau bilang, akan mengabulkan semua permintaanku!” Lili cemberut.

“Baik, baik,” Liliput menyerah, “Tapi ada syaratnya, Aku bisa mengabulkan permintaanku saat kau sedang tertidur! Makanlah serbuk kantuk ini, maka kau akan segera terlelap.” Liliput memberikan beberapa serbuk kantuk pada Lili, kemudian menghilang di balik semak-semak.

Sesampainya kembali di rumah, Lili segera mencoba serbuk kantuknya. Ia mengucapkan permohonan, lalu memakan serbuk kantuknya. Rasanya manis seperti gula pasir. Tak lama kemudian, Lili tertidur. Maka dari balik gorden kamar, Si Liliput muncul membawa kawan-kawannya. Mereka naik ke atas meja belajar Lili dan mulai bekerja….

Keesokan harinya, Lili sangat puas melihat PRnya telah diselesaikan. Apalagi, ternyata jawabannya benar semua! Lili mendapat pujian dari Bu Tuti dan teman-teman sekelasnya. Lili tersenyum penuh rahasia.

Begitulah… Akhirnya, setiap kali ada PR matematika, Lili selalu menelan serbuk kantuk. Dan di saat ia tertidur, Liliput dan teman-temannya mengerjakan PR matematikanya.

Tak terasa, lama-kelamaan serbuk kantuk dari Liliput habis.

“Aduh… gimana nih! Aku enggak bisa minta tolong Liliput lagi, nih!” keluh Lili.

Akhirnya, Lili berusaha mengerjakan PR nya sendiri. Namun, karena selama ini ia tidak pernah mengerjakan PR sendiri, Lili merasa sangat kesulitan.

“Ah, barangkali kalau aku tidur, para liliput itu akan datang,” pikir Lili.

Lili akhirnya tidur sampai pagi. Sayangnya.. tidak ada liliput yang datang dan mengerjakan PR nya.

Di sekolah, Bu Tuti memarahi Lili yang lupa mengerjakan PR.

“Sekarang kamu kerjakan soal-soal PR itu di papan tulis!” seru Bu Tuti.

Lutut Lili bergetar. Mula-mula ia menuliskan soalnya di papan tulis. Tapi kemudian ia berhenti. Ia tak bisa mengerjakan soal-soal itu!

“Kenapa, Li?” tanya Bu Tuti, “Bukankah soal yang ibu berikan ini sama dengan PR minggu lalu? Waktu itu kamu dapat nilai 100! Jangan-jangan bukan kamu yang mengerjakannya ya?”

Mata Lili berkaca-kaca. Ia hampir menangis. Untung Nanda, teman sebangkunya, mengacungkan tangan, menawarkan diri mengerjakan soal tersebut.

Usai pelajaran, Bu Tuti kembali memperingatkan Lili.

“Ulangan umum tinggal seminggu lagi, ayo belajar yang benar, kalau nilaimu merah, nanti kamu tidak naik kelas!”

Lili pulang dengan lesu dan muram. Lala, kakak perempuan Lili yang sudah duduk di bangku SMP, heran melihat Lili.

“Ada apa, Li? Kok lemas begitu?” tanya Lala.
“Hiks, Lili takut enggak naik kelas, Kak…” Lili mengadu sambil menangis. Lalu ia menceritakan semuanya, termasuk tentang Liliput yang selalu mengerjakan PR nya.

“Lili menyesal, Kak! Lili enggak mau dibuatkan PR sama Liliput. Lili mau rajin bikin PR sendiri,” sesal Lili.

Lala tertawa tidak percaya. “Ah, kamu ini ada-ada saja, Li. Mana ada yang namanya liliput. Memang belakangan ini, Kakak perhatikan kamu kebanyakan tidur!  Bagaimana bisa pintar, kalau kamu malas begitu. Tapi, jangan khawatir, Kakak akan mengajari kamu matematika!”

Lili tersenyum, “Makasih, Kak. Untung ada Kakak! Lili janji enggak mau malas-malasan lagi, supaya Lili bisa naik kelas!” ujar Lili girang.

CERITA DONGENG BOBO
Oleh Antonia Dina Iguna
Dan diketik ulang oleh Muhammad Syukur Raharjo.

Temukan artikel menarik lainnya di sini
Ikuti akun instagram penulis
Kunjungi juga channel youtube penulis

Sabtu, 16 Februari 2019

Chitra dan Bis Ceria



Kakek Boas memiliki sebuah bis yang dipakai untuk menghibur anak-anak. Terutama anak-anak di perkampungan. Di sisi kiri dan kanan bi situ, ada tulisan besar “BIS CERIA”. Di dalam bis itu ada peralatan menggambar, mewarnai, panggung boneka, juga bermacam-macam mainan.

Setiap hari Sabtu dan Minggu, Kakek Boas mengajak Chitra, cucunya, berkeliling dengan bis itu. Bis Ceria biasanya parkir di lapangan perkampungan. Kakek Boas dan Chitra lalu mengajak anak-anak di perkampungan itu untuk masuk ke bis mereka. Anak-anak bisa menggambar, atau bermain dengan berbagai manian yang tersedia.mereka juga bisa mendengar Chitra dan kakeknya mendongeng.

Chitra memang suka sekali mendongeng. Ia biasanya memakai boneka tangan di panggung boneka. Agar ceritanya lebih seru, Chitra bahkan belajar ventriloquism pada teman kakeknya. Ventriloquism adalah bahasa perut. Chitra belajar berbicara tanpa menggerakkan bibirnya.

Pada suatu hari Sabtu, Kakek Boas dan Chitra pergi ke perkampungan yang tidak jauh dari rumah Chitra. Mereka sudah sering ke perkampungan itu.

“Kakek…, kita sudah sampai. Tuh, lihat! Anak-anak sudah berkumpul!” kata Chitra sambil memainkan Wupi. Wupi adalah boneka tangan dari kain yang berbentuk kucing. Saat bicara, mulut Chitra tidak bergerak, sehingga Wupi yang bicara.

“Wah, Chitra! Ventriloquism kamu semakin hebat! Bibirmu sudah tidak bergerak sama sekali,” puji Kakek. Chitra sangat bahagia.

Kakek kini memarkir Bis Ceria di lapangan. Anak-anak kampung itu berkerumun mendekat. Begitu pintu bis dibuka, mereka langsung masuk dengan tertib.

“Eh, itu si kecil Tino. Kenapa dia tidak ikut ke sini ya?” Chitra menunjuk ke sebuah rumah di dekat lapangan itu. Ada seorang anak kecil duduk sedih di depan pintu rumah.

“Wah, wajahnya sedih sekali. Coba bujuk dia, Chitra!” kata Kakek Boas.

“Apa Tino masih gagap ya, kalau bicara?” piker Chitra ketika melangkah menghampiri Tino. Saat itu pintu rumah terbuka, dan Ibu Dira keluar.

“Selamat siang, Ibu Dira. Apa Tino boleh main di bis ceria hari ini?” tanya Chitra pada Ibu Dira, ibu Tino.

“Tentu saja boleh, Chitra. Tapi, kamu lihat saja sendiri, Tino sedang sedih. Sejak tiga hari lalu dia tidak mau bicara,” kata Ibu Dira. Ia lalu bercerita penyebab Tino jadi sedih dan mogok makan.

Tiga hari lalu, Tino diajak kakaknya menonton pertandingan sepak bola. Sambil nonton, Tino ngobrol seru dengan kakaknya. Beberapa anak besar di sekitar mereka, mendengar cara Tino berbicara. Mereka lalu menertawakan Tino dan ikut-ikutan bicara gagap meniru Tino.

Chitra sangat kasihan pada Tino. Ia membujuk Tino untuk bermain di Bis Ceria, namun tidak berhasil. Chitra tidak putus asa, Ia segera kembali ke Bis Ceria dan mengambil Wupi si boneka tangan. Lalu…..

Seekor boneka kucing muncul dari balik pintu rumah Tino. Tino yang sedang main mobil-mobilan sendirian, terkejut.

“Halo! Namaku Wupi. Kata Kak Chitra, kamu sedang sedih ya? Kalau aku bertemu anak-anak nakal yang mentertawakanmu, akan kugigit mereka semua!!” kata Wupi.

Tino mulai tertarik. Ia berdiri dan mengikuti boneka kucing itu.

“Tino, ini Wupi teman Kak Chitra. Dia ingin kenalan denganmu,” Chitra muncul dari balik pintu. Tino tetap tidak mau bicara. Namun, ia mengelus-elus kepala Wupi.

Tino lalu mengikuti Chitra yang mulai melangkah kearah Bis Ceria. Tino terus mengikuti Chitra dan akhirnya masuk ke dalam bis.

“Aku sudah bertemu Tino. Dia akan mengunjungi bisku,” kata Chitra dengan suara ventriloquism sambil menggerakkan Wupi. Anak-anak di dalam bis yang sedang menggambar, tertawa gembira melihat Wupi.

Tino kini duduk di kursi kecil di dalam bis. Chitra mengizinkan Tino meminjam Wupi. Tino memegangi boneka itu sambil menunggu boneka itu berbicara. Dinda, salah satu anak perempuan yang ada di dalam bi situ, mentertawakan Tino.

“Tino, Wupi  tidak bisa bicara betulan! Dia kan Cuma boneka! Hahaha…..”

Tino memandangi Wupi dengan sedih, untung Chitra segera mendapat akal. “Tino, Wupi memang tidak bisa bicara. Tapi dia ingin sekali bicara, karena ia ingin punya banyak teman. Itu sebabnya, tadi kak Chitra yang mengucapkan kata-kata yang ingin dikatakan Wupi.” Bujuk Chitra.

Tino lalu tampak akrab dengan Wupi. Namun tiba-tiba ia keluar dari bis, dan berlari pulang. Chitra dan kakeknya heran. Tetapi, beberapa saat kemudian Tino muncul lagi membawa celengan ayamnya. Chitra mengerti dan terharu. Tino rupanya ingin membeli Wupi.

“Tino, sebetulnya, kakak ingin menghadiahkan Wupi untukmu. Tapi…. Selama ini, kak Chitra yang menjadi suara Wupi. Kakak mengucapkan kata-kata yang ingin diucapkan Wupi. Apa kamu mau mengucapkan kata-kata yang ingin disampaikan Wupi? Kamu mau coba, kan, Tino?” bujuk Chitra.

Tino terdiam cukup lama. Lalu…..
“Aaa…aku…akk…akan  co…coba.”
“Wah, kamu pintar sekali, Tino. Nah, ini Wupi untukmu,” Chitra menyerahkan Wupi kepada Tino. Tino sangat gembira.

Hari sudah sore. Kakek Boas menjalankan Bis Ceria meninggalkan lapangan itu. Tino melambaikan tangan dengan Wupi di tangannya.

“Se…selamat…ja…jalan Bis Ce…ceria. Sa…sampai…..ber…temu la…lagi…”

* - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * - * -

Diceritakan kembali oleh Eva S.
CERPEN BOBO






Kunjungi juga akun youtube penulis.
Jangan lupa untuk like, share, comment, dan subscribe yaa....
Karena itu semua gratis...

Terima kasih

Pedagang Yang Budiman



Sera adalah seorang pedagang keliling. Ia sangat ramah dan selalu gembira. Sambil menyusuri jalan , Ia menjajakan barang dagangannya, “Barang bagus! Barang bagus! Siapa yang mau beli? Siapa yang mau beli?”

Sera senang jika ibu-ibu mau membelikan anak-anak mereka barang yang bagus. Hatinya puas melihat anak-anak tersenyum bahagia.

Suatu hari, saat Sera sedang menyusuri jalan, ia melihat pedagang keliling lain bernama Taro.

“Pergi Sera!” seru Taro marah. “Ini jalanku! Aku yang lebih dulu berada di jalan ini! Kau boleh berdagang di sini setelah aku pergi!”

Sera segera pergi ke jalan lain. Taro lalu mengetuk pintu rumah pertama. Seorang gadis kecil membuka pintu.

“Oh, Nenek!” katanya. “Maukah Nenek membelikanku sesuatu?”

“Kita tidak mempunyai uang,” kata Nenek. “Tapi coba tanya ke pedagang itu. Apa dia mau menukar barang yang kau suka dengan kendi hitam kita?”

Ketika si gadis keluar, ia memperlihatkan kendi hitam dengan Taro. Taro mengamati kendi itu, lalu ia membuat goresan pada kendi itu agar harga belinya turun. Tetapi ia sangat terkejut, ternyata kendi hitam itu sebenarnya terbuat dari emas.

Timbul ide liciknya. Wanita tua ini tidak tahu bahwa kendinya terbuat dari emas. Akan kukatakan kendi ini jelek. Lantas aku pergi. Nanti aku akan kembali dan membelinya dengan harga yang sangat murah. Begitu piker Taro. Lalu ia berkata.

“Kendi ini tidak bagus!” Setelah mengembalikan kendi pada si gadis, ia segera pergi.

Tak lama kemudian, Sera melewati jalan itu. “Barang bagus! Barang bagus!” serunya. “Siapa yang mau beli? Siapa yang mau beli?”

Saat gadis kecil itu melihat Sera, ia berkata, “Nenek, bolehkah aku bertanya ke pedagang itu? Mungkin ia mau menukar barang yang kubutuhkan dengan kendi ini…”

“Tapi, kata pedagang yang tadi, kendi ini jelek,” sahut Nenek. “Coba tanyakan kepada pedagang yang ini.”

Gadis kecil itu memanggil Sera. “Maukah Bapak menukar barang bagus yang kubutuhkan dengan kendi ini?”

Sera mengamati kendi itu. Ia melihat goresan yang telah dibuat oleh Taro.

“Nyonya!” katanya pada si Nenek. “Kendi ini terbuat dari emas!”

Nenek memandang takjub. “Tetapi kata pedagang yang tadi, kendi ini tidak bagus!” sahutnya.

“Oh tidak,” kata Sera. “Kendi ini terbuat dari emas. Aku akan membayarkan dengan semua uangku yang ada. Lalu aku akan kembali membawa uang yang banyak.”

Ia tersenyum pada si gadis kecil itu. “Gadis kecil, ambillah beberapa barang yang kamu mau.” Katanya.

Setelah Sera pergi, datanglah Taro si pedagang yang pertama tadi. Ia berkata “Aku telah berjalan jauh. Tapi aku teringat pada cucumu yang ingin baranga daganganku. Aku akan member beberapa yang ia mau.

“Tukarlah dengan kendi hitam milikmu!”

Nenek lalu menceritakan apa yang dikatakan Sera tentang kendi tuanya. “Ia memberi kami uang yang banyak. Nanti ia akan kembali membawa uang yang lebih banyak.”

“Apa… uang lebih banyak..?” seru Taro marah dan kecewa. “Dia harus memberiku uang juga. Bagaimanapun, aku yang pertama melihat kendi itu!” Taro terus bersungut-sungut ( misuh-misuh ). Gadis kecil dan Neneknya hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka bersyukur karena bertemu Sera si pedagang yang jujur.

Besoknya, Sera berhasil menjual kendi hitam itu dengan harga tinggi. Ia membayar lebih banyak pada Nenek. Saat pulang , ia berkata pada istrinya, “Aku telah melakukan sesuatu yang terbaik untuk kendi itu. Aku telah melakukan yang terbaik, sangat baik.”

“Apakah kita akan kaya?” tanya istrinya.
“Ya, kita pasti kaya, karena telah memberi sesuatu kepada orang yang tidak mampu. Mampu membantu orang lain yang kesusahan, membuatku merasa sangat bahagia….”

-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.

“Mampu membantu orang lain yang kesusahan, membuatku merasa sangat bahagia….” Sera

Diterjemahkan oleh Tututha, dari Some Pretty Little Thing

Cerpen BOBO




Kunjungi juga akun youtube penulis.
Jangan lupa like, share, comment, dan subscribe yaa....
Karena itu semua gratis....

Terima kasih....

Steve dan Gambang Kromong

Steve dan Gambang Kromong Oleh Nur Izzi Muntaha Hari ini penghuni kelasku bertambah lagi. Namanya Steve. Semua siswa di kelasku menyambut ge...